Kamis, 14 Oktober 2010

EPIDEMIOLOGI DAN PERANANNYA DI DALAM PEMECAHAN MASALAH KESEHATAN DI MASYARAKAT

Dalam kehidupan masyarakat tidak lepas dari permasalahan kesehatan, baik itu yang nampak mata ataupun kasat mata. Untuk membahas dan menyelesaikan permasalahan tersebut peran epidemiologi dan provider kesehatan sangat penting.
Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi (wabah). Hal ini berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit tidak menular (non infeksi), sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Epidemiologi mengkaji mengenai penyakit menular wabah, penyakit menular bukan wabah, penyakit tidak menular dan masalah kesehatan lainnya. Dalam epidemiologi sering dijumpai adanya epidemiologi deskriptif yang mengkaji mengenai peristiwa dan distribusi penyakit dan epidemiologi analitik yang mencakup tentang faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi penyakit.
Tujuan utama epidemiologi yaitu mendiagnosis masalah kesehatan masyarakat ; menentukan riwayat alamiah dan etiologi penyakit ; menilai dan merencanakan pelayanan kesehatan. Namun pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai adalah mencegah kejadian penyakit, mengurangi dampak penyakit dan meningkatkan status kesehatan manusia. Tujuan –tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan surveilans epidemiologi dan penelitian epidemiologi. Surveilans epidemiologi meliputi kegiatan mengumpulkan data secara sistematis dan kontinu; pengolahan, analisis dan interpretasi data sehingga menghasilkan informasi; penyebarluasan informasi; dan penggunaan informasi tersebut untuk pemantauan, penilaian dan perencanaan program kesehatan. Pada penelitian epidemiologi pun hampir sama dengan surveilans, hanya saja pada penelitian epidemiologi pengumpulan datanya tidak dilakukan secara kontinu.
Epidemiologi terdiri atas beberapa elemen pendukung, antara lain (a) Frekuensi, yaitu besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia/masyarakat. Untuk dapat mengetahui frekuensi suatu masalah kesehatan ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu: menemukan masalah kesehatan yang dimaksud dan melakukan pengukuran atas masalah tersebut. (b) Penyebaran / Distribusi masalah kesehatan, yaitu menunjuk kepada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Seperti, menurut ciri-ciri manusia (man), menurut tempat (place), dan menurut waktu (time). (c) Determinan yaitu faktor yang mempengaruhi, berhubungan atau memberi risiko terhadap terjadinya penyakit / masalah kesehatan. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu : merumuskan hipotesa tentang penyebab, melakukan pengujian, dan menarik kesimpulan.
Dalam proses pembangunan kesehatan saat ini di butuhkan epidemiologi sebagai penyedia data base untuk mengetahui besaran masalah kesehatan. Sebagaimana kita ketahui data dan informasi sebagai produk kegiatan Surveilans epidemiologi, merupakan instrumen pendukung untuk menentukan kebijakan, perencanaan dan penganggaran termasuk untuk pelaksanaan pengendalian faktor risiko. Berdasarkan pengamatan kita sehari-hari, pencatatan dan pelaporan yang mempunyai nilai strategis relatif belum optimal yang diakibatkan dari under recorded & reported, tidak tepat waktu, tidak adekuat, termasuk umpan balik secara berjenjang dari Pusat – Propinsi – Kab/Kota – Puskesmas tidak dilakukan secara baik dan tidak mempunyai mekanisme reward dan punishment.
Saat ini status kesehatan di negara kita masih dalam taraf yang rendah, dengan semakin mewabahnya penyakit menular, gizi buruk, dan lainnya. Dalam menghadapi tantangan tersebut sangat dibutuhkan kapasitas epidemiologi yang memadai di Indonesia. Dalam hal ini termasuk, kemampuan investigasi epidemiologi yang cukup, yang didukung oleh sistem pengumpulan data dan informasi berbasis bukti yang kuat serta tindakan penanggulangan yang tepat guna dan tepat waktu oleh masing-masing otoritas kesehatan. Untuk ini diperlukan SDM kesehatan dengan kompetensi dan ketrampilan epidemiologi yang cukup disemua jenjang admisistrasi kesehatan termasuk di fasilitas pelayan kesehatan (RS, Puskesmas, dll). Sejumlah tenaga yang bekerja dalam tim epidemilogi untuk menggerakkan aksi kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan di provinsi sampai ke kabupaten / kota sangat dibutuhkan dibawah kepemimpian, bimbingan dan supervisi tim epidemiologi nasional ditingkat pusat.
Dalam suatu perencanaan kesehatan, perlu untuk dipikirkan ketepatan strateginya. baik dalam pelayanan promosi, preventif dan dari segi kuratif dan rehabilitatifnya. Semua orang yang terlibat dalam perencanaan kesehatan seharusnya tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan langsung oleh rakyat yang sebenarnya. Agar Teori dan kenyataan dilapangan dapat berjalan sebagaimana seharusnya. Proses Perencanaan kesehatan tidak terlepas pada isu strategis. Dimana terdapat beberapa komponen penting dalam mendukung terlaksananya program perencanaan kesehatan. Maka epidemiologi memiliki peran strategis untuk menetapakan sebuah kebijakan kesehatan yang termaktub dalam program-program kesehatan.
Epidemiologi dalam tataran pengatur kebijakan untuk melakukan suatu proses perencanaan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan , yakni
1. Tersedianya dokumen sebagai penguat data bagi semua stake holder yang terlibat dalam dunia kesehatan. Serta adanya telaah kebijakan, sosialisasi, monitoring, dan evaluasi bagi kebijakan yang telah ditetapakan dalam bentuk perundang-undangan agar komitmen terhadap peningkatan kesehatan dapat terwujud.
2. Mampu mempertajam analisis perencanaan kesehatan salah satunya dalam bentuk proses tanya jawab pada stake holder yang terlibat dalam kesehatan.
3. Berpikirlah general atau makro untuk mendapatkan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang kita hadapi, namun berpikir mikro dan detail tetap kita butuhkan. Kapasitas dan kompetensi kita sebagai para profesional di bidangnya menuntut kita harus mampu menangkap dan mendeteksi sekecil apapun potensi masalah dan mencarikan solusi pemecahannya. Walaupun di dalam implementasinya kita harus bertindak strategis sesuai dengan skala prioritas dan sumber daya yang dimiliki.

Wiwin Andriyani
E2A009035
Reg-1
Mahasiswa FKM UNDIP

KEBISINGAN

Di bawah ini contoh kasus tentang Kebisingan :
DAMPAK KEBISINGAN FREKUENSI 6000 DAN 8000 Hz
TERHADAP KETULIAN KARYAWAN K-3
Kerusakan organ pendengaran akibat terpapar kebisingan dalam waktu yang cukup lama lazim disebut trauma bising (noise induced hearing loss). Trauma bising diperkirakan terjadi mulai ditemukannya logam, dan kemudian makin berkembang dengan ditemukannya dinamit, senjata api serta meriam. Perkembangan trauma bising makin terlihat nyata setelah terjadi revolusi industri dengan ditemukannya mesin-mesin pabrik, mesin uap, mesin kendaraan darat, laut dan udara, serta mekanisasi pertanian. Pada dekade akhir abad ini populasi bising melanda bidang musik elektronik, peluncuran roket, penerbangan ruang antariksa dan akhirnya meluas ke rumah tangga berupa industri tradisional maupun elektrifikasi alat-alat rumah tangga (Ballantyne, 1990, Cody, 1981, James, 1975). Kejadian trauma bising mulai dicurigai pada pekerja pabrik berupa kurang pendengaran yang dapat dilacak dari wawancara dan pemeriksaan secara audiometris. Trauma bising terjadi apabila seseorang berada di tempat bising keras antara 85-90 dBA selama 8 jam terus menerus sekitar 3-10 tahun pada frekuensi sedang (1000-3000 Hz dan frekuensi tinggi (4000-8000 Hz) dan tergantung kondisi kesehatan telinga. Mengingat kelainan berkisar pada frekuensi tinggi berupa torehan, maka penderita baru akan berkeluh tentang komunikasi bila kerusakan organ telinga dalam mencapai frekuensi ringan dan sedang (Sugeng, 1990, WHO, 1986). Kejadian perkembangan pesat dibidang elektro-akustik yang telah mampu membuat alat-alat pengukur untuk mengetahui sifat-sifat fisik bising dan dapat mengungkap beberapa variabel bising yang berpengaruh terhadap kerusakan organ pendengaran seperti akibat tingkat kebisingan, lama terpapar dan umur (Cody, 1981). Hasil penelitian menunjukkan lokasi terpapar tingkat kebisingan antara 81-82 dBA dan lokasi tidak terpapar antara 56-58 dBA. Membandingkan hasil penelitian ini dengan 189 lurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No I. April 2003: 185 – 191 Permenkes no. 986/1994 yaitu dengan NAB 78 dBA menunjukkan bahwa tingkat kebisingan di lokasi terpapar telah melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan. Namun bila dibandingkan dengan penelitian lain pada pabrik tekstil bagian tenun antara 106,3-113,3 dBA, bagian persiapan kanji antara 90,2-94,8 dBA menunjukkan hasil penelitian di rumah sakit masih lebih rendah, walaupun NAB untuk industri berbeda yaitu NAB industri 85 dBA. Begitu juga bila dibandingkan dengan tingkat kebisingan pada penggilingan padi dan pabrik paku di Jawa Timur yaitu antara 88-94 dBA (Soebagio, 1992, Suma'mur, 1984). Pada frekuensi 6000 Hz dengan tingkat kebisingan antara 81-82 dBA karyawan yang bekerja di bagian boiler dan laundry yang telah mengalami ketulian sebanyak 76,2% karena menerima risiko kebisingan secara bermakna sebanyak 6,4 kali di bandingkan bila bekerja di bagian umum. Sedang pada frekuensi 8000 Hz, karyawan jang mengalami ketulian sarna dengan pada frekuensi 6000 Hz sebanyak 76,2%. Pada frekuensi 8000 Hz karyawan yang bekerja di bagian boiler dan laundry akan mengalami risiko kebisingan secara tidak bermakna sebanyak 1,6 kali di bandingkan bila bekerja di bagian umum. Lama terpapar yang identik dengan lama kerja atau masa kerja, karyawan dengan masa kerja > 10 tahun dan bekerja di bagian boiler atau laundry pada frekuensi 6000 Hz yang telah mengalami ketulian sebanyak 47,6% karena menerima risiko tidak bermakna ketulian sebanyak 1,9 kali dibandingkan bila bekerja di bagian umum. Sedang pada frekuensi 8000 Hz yang telah risiko tidak bermakna 1,8 kali mengalami ketulian sebanyak 52,4%. Karyawan dengan lama terapar < 10 tahun dan bekerja di bagian boiler atau laundry pada frekuensi 6000 Hz yang berisiko tidak bermakna mengalami ketulian sebanyak 4,5 kali telah mengalami ketulian sebanyak 14,3%. Sedang pada frekuensi 8000 Hz yang 4,5 kali mengalami ketulian sebanyak 14,3%. Ada kesamaan dampak ketulian karyawan yang bekerja < 10 tahun, walaupun berbeda frekuensi. Lama terpapar ditetapkan 10 tahun karena karyawan yang terpapar tingkat kebisingan antara 85-90 dBA selama 8 jam! 190 hari akan mengalami ketulian selama 3-10 tahun (Ballantyne, 1990, James, 1975). Penelitian lain yang memprediksi faktor risiko ratarata didapat nilai OR masih di bawah dari nilai OR yang diteliti di sini (Suma'mur, 1980). Umur ditetapkan sebayak 40 tahun karena seseorang pada usai 40 tahun akan berisiko mengalami ketulian dibandingkan umur kurang dari 40 tahun. Karyawan di bagian boiler atau laundry dibandingkan dengan bekerja di bagian umum dengan umur ~ 40 tahun pada frekuensi 6000 Hz telinga kanan akan berisiko bermakna mengalami ketulian sebanyak 12,8 kali, sedang telinga kiri sebanyak 5,8. Frekuensi 8000 Hz telinga kanan akan menga-lami ketulian sebanyak 14,3kali dan telinga kiri 2,6. Umur <40 tahun pada frekuensi 6000 Hz telinga kanan akan berisiko bermakna mengalami ketulian sebanyak 5,8 kali, sedang telinga kiri sebanyak 1,3, namun tidak bermakna. Frekuensi 8000 Hz telinga kanan akan mengalami ketulian sebanyak 3,5 kali dan telinga kiri 2 kali, namun tidak bermakna. Penelitian lain seperti pada pabrik tekstil, pabrik paku dan penggilingan umumnya umur hanya diambil sampai umur 40 tahun (Mulyono, 1991, Suma'mur, 1984) Hasil Ulasan : 1. Pengertian Kebisingan • Bising dalam kesehatan kerja, bising diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kwantitatif (peningkatan ambang pendengaran ) maupun secara kwalitatif (penyempitan spektrum pendengaran) berkaitan dengan faktor intensitas, frekwensi, durasi dan pola waktu. • Kebisingan didefenisikan sebagai suara yang tak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dsb, atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup. 2. Macam-macam tingkat kebisingan 3. Orang –orang yang rentan terpapar oleh kebisingan Orang yang rentan terhadap paparan kebisingan adalah orang yang langsung berhubungan/berinteraksi dengan sumber kebisingan, dalam hal ini yaitu para pekerja di industri dan perusahaan yang menggunakan alat-alat dengan tingkat kebisingan tinggi, sehingga mempengaruhi tingkat pendengaran terhadap para pekerja tersebut. 4. Akibat-akibat kebisingan 1. Akibat-akibat badaniah a. Kehilangan pendengaran > Perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan, Perubahan ambang batas permanen akibat kebisingan
b. Akibat-akibat fisiologis > Rasa tidak nyaman atau stres meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi dering
2. Akibat-akibat psikologis
a. Gangguan emosional > Kejengkelan, kebingungan
b. Gangguan gaya hidup > Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, membaca dsb.
c.Gangguan pendengaran > Merintangi kemampuan mendengarkann TV, radio, percakapan, telpon dsb.
5. Langkah langkah menanggulangi kebisingan
1. Memeriksa pendengaran
a.Melakukan pemeriksaan fisik.
b.Melakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu
dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab
kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi
telinga.
c.lakukan pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan
adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu
pendengaran. Pemeriksaan dengan garpu tala.
6. Program pemeliharaan pendengaran (hearing program conservation)
a. pemeriksaan audiometri berkala
b. Melakukan pengawasan dan pengendalian administrasi merupakan upaya pelaksanaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di lingkungan kerja
c. Penggunaan alat pelindung telinga seperti earplug dan earmuffs
7. Pengaruh dan dampak dari kebisingan, antara lain:
a. Gangguan fisiologis (gangguan yang langsung terjadi pada faal manusia) , meliputi : peredaran darah terganggu, otot-otot menjadi tegang, gangguan tidur, gangguan pencernaan, gangguan pada sistem syaraf, gangguan pendengaran.
b. Gangguan psikologis (gangguan yang secara tidak langsung terhadap manusia dan sukar untuk diukur, hal ini tergantung kepada :
1. Keadaan pribadi masing-masing, contoh : lelah, jenuh dan marah
2. Lingkungan, contoh : lingkungan pribadi dan lingkungan umum
3. Sifat bising, contoh : monoton (tidak mengganggu), tidak bisa diramalkan (mengganggu).
c. Pengaruh Bising terhadap Manusia
Pengaruh bising terhadap produktifitas kerja :
1. Kuantitas hasil kerja sama, kualitas berbedabila dalam keadaan bising
2. Kerja yang banyak menggunakan pemikiran lebih banyak terganggu dibanding dengan kerja manual.
3. Pengaruh positif
Menambah produktifitas (musik)
Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan,penanaman pohon, pembuatan bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.